Monday 10 October 2016

Filosofi Bibit, Bebet dan Bobot dalam Mencari Jodoh

Bibit Bebet Bobot adalah filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria mencari jodoh atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kriteria calon jodoh versi Jawa. Atau paling tidak  menjadi alat kalibrasi atas kriteria yang selama ini sudah dikantongi oleh masing-masing para pencari jodoh dalam rangka uji proper and test calon atau sosok yang akan diincar.

Berkenaan dengan pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati – meski tidak terlalu selektif – dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai garwo (sigare nyowo) ing geghayu bahteraning orep (dalam mengarungi bahtera kehidupan) dalam kesetiaan sampai kiki nini koyo’ mimi lan mintuna.
Hal ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga dan berketurunan. Sebab kesalahan memilih pasangan yang dinikahi dapat berdampak buruk pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan. Kata pepatah “Malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika ia salah memilih siapa yang menjadi pasangan hidupnya.”

Perlu diketahui, filosofi Jawa mengatakan bahwa ada lima perkara dimana manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti peran dan nasib perjalanan hidupnya; siji pesthi (mati), loro jodho (jodoh), telu wahyu (anugerah), papat kodrat (nasib), lima bandha (rizki).
Meskipun perjodohan adalah “departemen asmara” yang berada dibawah kepengawasan dan kendali Gusti Allah Yang Maha Kuasa, bukan berarti kita hanya bisa berdiam dan berpangku tangan menunggu runtuhnya durian. Namun kita wajib ikhtiar supaya tidak salah memilih yang akhirnya terpuruk  dalam penyesalan.
Seperti kita ketahui bahwa Aristoteles pernah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Karena mereka adalah makhluk sosial atau zoon-politicon, yang mana mereka akan mencoba melakukan interaksi dan komunikasi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan, baik tubuh dan jiwa. Nah, di sinilah letak perlunya mencari pasangan yang serasi agar dapat hidup harmonis dalam duka maupun duka. Falsafah Jawa BIBIT, BEBET, BOBOT dapat menjadi alternatif bijak untuk menjawab konsep dalam  The Law of Attraction “getaran jiwa memancar, mencari, mendekat dan menarik getaran jiwa yang sama”.


BIBIT adalah asal usul/keturunan. Di sini kita diajarkan untuk konsen terhadap asal-usul calon menantu. Jangan sampai memilih menantu bagai memilih kucing dalam karung, yang asal-usulnya ndak jelas, keluarganya juga remang-remang, pekerjaannya cuma begadang di jalanan. Namun, bukan berarti bahwa kita harus mencari menantu keturunan “darah biru”, tetapi setidaknya calon menantunya punya latar belakang yang jelas dan berasal dari keluarga yang baik-baik.
Menurut teori Gen oleh Gregor mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya, bahwa manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak melalui aspek tinggi badan, warna kulit, warna mata, keadaan rambut lurus atau kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula bahwa sifat dan tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai contoh sifat pendiam, cerewet, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat alamiah manusia yang tidak dipelajari melalui pengalaman, tetapi hasil warisan generasi sebelumnya.
Jadi. Filosofi Jawa yang memperhatikan BIBIT bukan isapan jempol semata. Sebab menikah dengan mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif, tapi salah satu alternative yang bijak dalam “laku babad” untuk menjaga dan melestarikan keturunan yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap kesehatan mental – spiritual generasi bangsa selanjutnya.

BEBET merupakan status sosial (harkat, martabat, prestige). Filosofi Jawa memposisikannya dalam urutan ketiga. Bebet ini memang penting tapi tidak terlalu penting. Dalam filosofi Jawa mengatakan, “Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman”, (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi). Tetapi, apa salahnya kalau status sosial sesorang juga menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan calon menantu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa status sosial juga merupakan kebutuhan dasar manusia. 

BOBOT adalah kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku. Filosofi Jawa ini mengajarkan, ketika mau ngundhuh mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut kepada calon menantunya. Hal ini mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua terhadap hak anak, yakni menikahkan dengan seseorang yang diyakini mampu membahagiakan anaknya. Karena setelah menikah tanggung jawab akan nafkah, perlindungan dll berpindah ke suami. Oleh karena itu, tak heran terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau intervensi urusan yang satu ini kepada putrinya. Sebab, siapa sih yang rela dan tega bila putri kesayangannya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang harus menjalani hidup penuh deraian air mata di tangan suami yang kejam yang tak kenal sayang? Untuk itu konsepsi BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi perlindungan, kasih sayang dan penghormatan kepada wanita.
Standar Kompetensi dalam BOBOT dalam filosofi ini meliputi; (1) Jangkeping Warni (lengkapnya warna), yaitu sempurnanya tubuh yang terhindar dari cacat fisik. Misalnya, tidak bisu, buta, tuli, lumpuh apalagi impoten; (2) Rahayu ing Mana (baik hati) bahasa kerennya “inner beauty”. Termasuk kategori ini adalah kepahaman agama sang menantu; (3) Ngertos Unggah-Ungguh (mengerti tata krama); (4) Wasis (ulet/memiliki etos kerja). Dalam filosofi ini kita diajarkan untuk tidak silau oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu.
 
Itulah filosofi Jawa tentang Bibit, Bebet dan Bobot. Bagaimana dengan Anda? Wallaha’Alam.  
(dari berbagai sumber)



Salam Dari Wong Jowo : Acong Is Death


0 komentar:

Post a Comment